Sepanjang horizon mata memandang terlihat garis tipis horizontal di ufuk barat, matahari ufuk barat bermandikan cahaya keemasan nan elok, bersibakkan awan gemawan putih dan kelabu bersampiran bersandingan merona merah dibiaskan cahaya. Wah, sulit juga menggambarkan keindahannya, anda harus kesana sih, mengalami sendiri.
Memijak kan kaki di pasir halus membentang sepanjang 170 km (bayangkan tuh).
Amat panjang, namun tetap hijau karena disisi daratan ditumbuhi pohon pinus dan pohon nyiur / kelapa memanjang berjejer di setiap tepian yang bisa kita lihat.
Pantai tersebut berada di Kecamatan Muara Batang Gadis Kab. Mandailing Natal.
Biasa disebut pantai barat Sumatera.
Keelokan panorama yang tidak bosannya kita lihat (karena kita bukan orang sana), tentu menyebabkan rasa ingin tinggal lebih lama dan menikmati debur ombaknya membuat kita ingin berumah dipinggirannya. Tapi kalau kita perhatikan, orang di sekitar pantai amatlah bersahaja dan seolah sudah menyatu dengan keadaan pantai sehingga mereka adalah bagian dari pantai itu sendiri. Mereka tidak lagi melihat keindahan pantai, karena mereka adalah bagian dari keindahan pantai itu.
Nelayan yang merajut jala-jala ikan, sedang mengemasi barang-barang untuk melaut, dan anak-anak mereka yang berjejeran melihat persiapan pergi dan pulang melaut, seolah merajut kepentingan hari dan petang itu tiada sudah, dan tiada hal yang luar biasa, tapi coba lihat lagi, sungguh, indah banget….. busyeet…. Hal biasa begitu kok jadi indah ya… sungguh, karena hidup ini pasti berakhir, terasa banget rasa syukur di hati, karena paling tidak kita telah mengalaminya.
Sore-sore, udah hampir maghrib, beberapa orang teman menyalakan api unggun di tepian pantai perawan muara batang gadis tadi. Tak lama kemudian, lidah apinya melenggak lenggok diterpa angin laut, merah kekuningan, memercikkan bunga api, kecil dan ramai meninggalkan pantai, api terus membesar membakar kayu-kayu pinus kecil dan sedang yang kami kumpulkan karena terserak di pinggir pantai perawan.
Waktu berjalan terus, tak lama azan maghrib mengalun lembut mengelus gendang telinga, menggetarkan syaraf dan rasa kalbu. Kami pun sholat maghrib di tepi pantai beralaskan kayu papan. Debur ombak dan sisa-sisa sunset di depan kami ketika sholat, langsung berhadapan, sepanjang yang bisa terlihat, horizon yang makin menggelap, pendaran cahaya mentari yang terlelap ditutup awan sore, menambah rasa khusyuk hingga tahiyat akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar