Cak Lumen yang hobby menulis mempunyai tips-tips bagi yang punya hobby sama, tapi mungkin belum menulis dan sedang melakukan upaya-upaya untuk menjadi penulis terkenal. Tips ini disarikan Cak Lumen dari berbagai teori menulis yang digali dari berbagai sumber, dan bila tips-tips berikut ini dijalankan dengan tekun dan konsisten sangat efektif menjadikan anda menjadi seorang penulis. Semoga bermanfaat..
Tips-tips menulis itu adalah sebagai berikut :
Menulis tidak sulit, yakinlah
miliki motivasi yang tinggi
jangan puas hanya menulis, tapi miliki hasrat 100% untuk menulis
jangan vonis diri tidak berbakat
bongkar lagi tulisan-tulisan anda; itu bukti bahwa anda mampu menulis
temukan model tulisan dan pengarang yang bisa jadi model atau sumber motivasi
efektifkan waktu
ide, gagasan atau ilham atau pertanyaan bisa jadi modal dasar bagi sebuah tulisan yang baik dan laris dibaca orang.
catat selalu ide yang terlintas, karena terkadang sekali terlintas ide tersebut bisa terlupakan, atau tidak kembali lagi.
jangan adili ide anda sebelum memberinya kesempatan menjadi matang.
jangan sia-siakan ide anda
eksplor ide anda dan cari feedback yang bagus.
kenali diri sendiri : apa yang kita sukai, apa yang kita kuasai, apa yang kita inginkan, .... tulislah itu semua.
pengalaman yang unik selalu menarik
pelajari hobi anda ! buat buku tentang hobi itu.
gunakan buku tentang profesi anda sebagai sarana personal branding.
inventarisir topik yang menarik untuk tulisan-tulisan yang pendek
ketimbang menulis hal-hal yang berat, awali saja dengan tulisan yang ringan dan populer seperti menulis fast book.
seminggu satu artikel pendek, kurang dari 3 bulan anda punya sebuah naskah buku.
format tanya jawab untuk membuat sebuah buku panduan sangatlah bagus.
semua materi tentang makalah, presentasi atau artikel dapat dibuat dalam format tanya jawab.
format tanya jawab juga bisa dimanfaatkan untuk mengeksploitasi ide dan hasilnya pun sudah merupakan bahan mentah sebuah buku.
bagi anda yang ingin mendirikan self publishing atau independent publishing, fast book adalah alternatif yang cerdas.
fast book yang laris bisa dibuat versi hardcovernya
selalu siapkan catatan kecil untuk menuliskan ide yang terlintas kapan saja dan dimana saja.
sedang asyik bekerja tiba-tiba ada ide, ambil jeda dan segera tuliskan.
gunakan waktu luang untuk mengeksplorasi ide menjadi outline dan pointers buku.
buat outline yang lengkap, detail tapi singkat saja.
buatlah outline buku dengan niat agar buku itu akan laris, bukan buku yang biasa-biasa saja.
jangan pernah membiarkan gagasan berlalu. rekamlah.
Jika menulis terasa sulit, kembangkan dengan berbicara dan rekam.
Gunakan pinter, outline atau peta pikiran untuk mengolah / mengungkap gagasan.
gunakan tenaga profesional untuk menggali dan mempertajam gagasan anda.
persiapkan outline atau daftar pertanyaan sebelum melalukan wawancara untuk bahan tulisan.
biasakan diri untuk berdiskusi
jadikan para pengkritik sebagai mitra untuk menguji
apa yang jadi alasan untuk memilih tema, itulah roh buku.
antusiaslah terhadap setiap gagasan
jika macet, beralihlah ke bagian yang paling mudah.
jangan biarkan buku anda diisi oleh bab yang tidak menarik dan tidak bermanfaat.
buang bagian yang paling membosankan dan hanya kembangkan bagian yang paling menarik
mood harus dicari, dibuat, dikendalikan, didisiplinkan dan dipertahankan.
menulislah dalam tulisan-tulisan pendek secepat datangnya gagasan.
jangan berhenti, jangan mengevaluasi, jangan mengoreksi sebelum tulisan selesai.
Pada suatu ketika dizaman teknologi dan informasi berkembang pesat memasuki era digitial dan internet, seorang bernama Cak Lumen kepikiran untuk belajar menulis dan telah merasakan banyaknya dorongan untuk mengekspresikan pikirannya yang membludak untuk dituliskan.
Cak Lumen sengaja menunda-nunda hasratnya menulis karena, malu, takut dan bingung, harus mulai dari mana, dan sengaja pula mencari-cari alasan untuk tidak menuliskan pikiran-pikirannya. Cak Lumen berfikir untuk menunggu momen ketika pikiran dan segala ide yang bersliweran di kepalanya pada akhirnya akan overload dan tumpah dengan sendirinya. Hal ini ia lakukan dengan alasan untuk ‘mengkondisikan’ hasrat menulis tadi menjadi alamiah.
Cak Lumen hidup di sebuah kota besar yang penuh dengan kesibukan. Namun baginya kesibukan kota besar tidak mempengaruhi dirinya yang penuh ’kesunyian’.
Postur badannya tinggi nggak pendek juga nggak, rambutnya ikal-ikal, hidung pesek dan jalannya agak bungkuk, dahinya lebar dan alisnya seperti semut beriring jarang. Boleh dibilang, wajahnya cukup tampan lah di kalangan pria di zamannya.
Cak Lumen seorang yang suka bergaul dengan teman-temannya saat siang, sekaligus suka menyendiri di kala malam hari. Dia suka merefleksikan segala hal di dalam perenungannya. Kadang-kadang bila ada masalah Cak Lumen suka lupa diri juga tapi kemudian sadar dengan cepat dan berusaha mengendapkan masalah-masalah tadi sehingga tidak menjajah pikirannya dan ketenangan hatinya, seperti Belanda menjajah Indonesia.
Berbekal ilmu yang sedikit tentang internetan dan blogging Cak Lumen akhirnya menumpahkan tulisannya di blog ini. Cak Lumen mendata ulang serta menginventarisir ide-ide yang diingatnya pernah terlintas, terus berusaha ditulisnya dengan mencari sumber-sumber tulisan yang mungkin dapat menambah wujud kembang ide tersebut menjadi lebih ilmiah atau lebih akurat.
Semoga cerita-cerita Cak Lumen di Blog ini banyak bermanfaat bagi para pengunjung yang lagi bersliweran entah nyari apa, gitu lho.....
Sebelum perang Medan dinamai 'Parisnya Sumatra'. Sejauh ini banyak bangunan tahun 1940 yang masih ada, sehingga kita dapat mengerti mengapa Medan menerima julukan terhormat itu. Arsitektur gedung di Medan sebelum perang memberi gambaran bagaimana pengembangan kotaMedan dan industri perkebunan bekembang.
Before the war Medan was named as 'Paris of Sumatra'. So far many buildings of before 1940 have survived, so that we can see why Medan received this honorable nickname. The building and architectures gives a short description of the development of Medan and of the creation of the plantation industry.
Di depan Hotel Dharma Deli terdapat Kantor Pos besar. Konstruksinya dimulai pada tahun 1909 dan selesai di tahun 1911. Bangunan ini adalah proyek pertama yang dikerjakan oleh Snuyf, arsitek yang ditahun 1909, menjadi kepala Pekerja Sipil Indonesia. Selama perkemangan pemerintah kolonial Belanda, terjadi kebutuhan yang semakin meningkat akan adanya gedung-gedung baru untuk berbagai keperluan seperti sekolah, penjara dan kantor-kantor. Kebanyakan gedung-gedung tersebut harus diselesaikan dalam waktu singkat sehingga terjadi standarisasi design. Desain tersebut dikenal sebagai arsitektur aliran arsitektur ‘normal’, tetapi variasi tetap diijinkan. Kantor pos adalah salah satu contoh dari type arsitektur ini. Disamping istilah arsitektur ‘normal’, desain kantor pos masih dapat diprediksi. Arsitek Cor Passchier menulis tentang hasil kerja koleganya Snuyf sebagai berikut : “Kantor pos adalah bangunan yang menunjukkan keragu-raguan dari pencarian desain baru.” Didalam kantor pos ada hall yang melingkar dengan sebuah kubah.
Disisi lain Dharma Deli hotel, ada Javasche Bank yang sekarang menjadi Bank Indonesia.
Bangunan ini didesain dan dibangun oleh Arsitektur dan Insinyur Hulswit and Fermont tahun 1910. Diantara tahun 1910 dan 1922 perusahaan arsitektur ini mendesain dan membangun lebih dari seratusan kantor, sekolah, toko dan rumah. Khususnya masyarakat pebisnis, sering menyewa mereka untuk membangun bangunan massive untuk keperluan mereka. Javanese Bank dibangun dengan gaya klasik monumental, dan beraksen dekorasi Jawa. Di tahun 90-an bagian depan bank tersebut ditambah dari dua menjadi empat jendela.
Opposite the Dharma Deli Hotel is the post office. The construction was started in 1909 and completed in 1911. This building was the first large project undertaken by Snuyf, the architect who had, in 1909, become the head of Civil Public Works for Indonesia. Due to the rapid growth of the Dutch East Indies' government there was a need for many new buildings for the diverse government services such as schools, jails and post offices. Most of these buildings had to be completed in a very short time hence the standardisation of design. These designs were known as normal architecture', but variations were allowed. The post office is an example of this type of architecture. Despite the phrase 'normal, the post office's design is anything but predictable. The architect Cor Passchier writes the following about the work of his colleague Snuyf: The post office is a building that sho%t's a hesitant search ftr a ne;v design. In the post office the counters are situated in a circular hall with a dome. The dome is decorated with tile tableaus of doves. The facade is divided in a manner which is typical of traditional Dutch architecture.
At the other side of the Dharma Deli Hotel, is the former Javasche Bank which is today Bank Indonesia. This building was designed and built by the Architectural and Engineering Firm Hulswit and Fermont in Weltcvreden and Ed. Cuypers in Amsterdam around 1910. Between 1910 and 1922 this architectural firm designed and built more than one hundred offices, schools, shops and houses. Especially the business community often hired this firm to build massive buildings for themselves. The Javanese Bank was built in a classical monumental style, and was accented with early Javanese decorations. In the nineteen fifties the facade of the bank was extended from two to four windows.
Tidak ada kesulitan mengunjungi dan melihat bangunan bersejarah tersebut. Anda akan menemukan bahwa masing-masing perjalanan keliling mulai dan berakhir di “Esplanade” yang sekarang disebut Lapangan Merdeka. Lebih dulu rute historis membawa kita ke bangunan bersejarah di sekitar Lapangan Merdeka, area pusat kota yang tadinya disebut Esplanade (lapangan terbuka). Luasnya yang persegi, dengan lapangan rumput yang luas dan pohon-pohon besar menjulang, masih dapat kita lihat sampai sekarang. Setelah kemerdekaan, nama nya diubah menjadi Lapangan Merdeka.
Banyak bangunan historis mengelilingi lapangan ini yang masih bercirikan karakter tempo dulu dari kotaMedan. Kantor pos pusat, Hotel Dharma Deli (dahulu bernama Hotel De Boer), Javanese Bank (sekarang Bank Indonesia), Balai Kota (City Hall- sekarang dibangun City Walk sebagai pusat perbelanjaan termodern), kantor Persekutuan Dagang Belanda, Lloyd's Rotterdam (sekarang Asuransi Jasindo) dan Juliana Building (sekarang Lonsum) yang dulu dihuni Britania Harrisons & Crossfield.
Pembangunan Hotel De Boer, yang sekarang menjadi hotel Dharma Deli, dimulai di tahun 1898 dan sangat cepat menjadi terkenal di Hindia Belanda.
There should be no difficulties if we plan to visit any of the buildings. You will find that each tour has its own map and that all tours begin and end at the former Esplanade' now Lapangan Merdeka (Independence Square).
The first historical route takes us past the buildings around the Lapangan Merdeka , the central area of the city and formerly called the Esplanade. The square, with its large expanse of grass and tall trees, still looks partly as it did when described in 'Tropic fever'. After independence, its name was changed to Lapangan Merdeka meaning Independence Square. The many historical buildings which surround the square still determine the character of old Medan. These are the Post Office, Hotel Dharma Deli (formerly Hotel Dc Boer), the Javanese Bank, the City Hall, the office of the Netherlands Trading Company, Lloyd's of Rotterdam and the Juliana building which housed the British firm Harrisons & Crossfield, and is currently used by the London-Sumatra Plantations Company.
The construction of the Hotel De Boer , now hotel Dharma Deli, began in 1898, and very quickly became famous in the Dutch East Indies.
City Hall adalah bangunan lain disebelah Javanese Bank yang juga didesain oleh arsitek yang sama, dibangun pada tahun 1906 dan dimodernisasi pada tahun 1923. Menara jamnya adalah bantuan dari Tjong A Fie, seorang perantau Cina yang sukses di Medan. Lonceng atau genta yang terdapat di bangunan ini dibuat oleh perusahaan Belanda Van Bergen.
The City Hall situated next to the Javanese Bank was also designed by the same architectural firm. It was built in 1906 and modernised in 1923. It's clock tower was donated to the city in 1913 by Tjong A Fic, a Chinese resident of Medan. The chimes were produced by a Dutch firm, Van Bergen.
Di sudut yang berlawanan dari City Hall, menyeberangi Jalan Raden Saleh, adalah bangunan Nederlandsche Handel Maatschappij (Perusahaan Dagang Belanda). Sekarang digunakan oleh Bank Mandiri. Bangunan ini diselesaikan pada tahun 1929 oleh perusahaan Fermont en Cyupers. Sudah dari sejak semula Perusahaan Dagang Belanda tertarik pada Pantai Timur Sumatra. Perusahaan ini memiliki sebagian besar dari saham Perusahaan Deli. Di tahun-tahun awal berdirinya perusahaan ini tidak berlaba, jadi Perusahaan Dagang Belanda mengirimkan pekerja-pekerjanya ke tanah Deli. Salah satu pekerjanya bernama J.Th. Cremer, yang dari tahun 1876 sampai 1881 menjadi kepala Administratur dan Presiden komisaris dari Perusahaan Deli company. Cremer bertanggung jawab terhadap perkembangan yang sangat pesat dari perusahaan ini.
On the corner opposite the City Hall, crossing Jalan Raden Saleh, is the former office of the Nederlandsche Handel Maatschappij (Netherlands Trading Company. Today it houses the Bank Mandiri. This building was completed in 1929 by the firm Fermont en Cuypers. The Netherlands Trading Company had from the beginning interests on Sumatra's Eastcoast. She possessed a great part of the shares of the Deli Company. The Deli Company made in the early years little or no profit, so that the Netherlands Trading Company did send one of her employees to Deli. This employee was J.Th. Cremer, who was from 1876 up to 1881 Chief administrator and later President Commissaris of the Deli Company. Cremer was responsible for the very fast development and growth of the conipany.
Di tahun 1888 Perusahaan Dagang Belanda membuka kantor sendiri di Medan. Di kantor medan yang disebut ‘kasorders’ (permintaan pembayaran) digunakan selama beberapa tahun sebagai bentuk alternatif dari dokumen Pantai timur Sumatra. Selama zaman Jepang kantor tersebut digunakan sebagai kantor pemerintahan, atau ‘Gunseikanbu’. Diatas tahun 1929 Perusahaan Dagang Belanda yang berlokasi sekarang di Bank Mandiri terletak di sudut Lapangan Merdeka dan Jalan Raden Saleh. Kantor kedua dari Bank Mandiri, disamping kantor LondonSumatra, dibangun pada tahun 1920-an oleh Nederlandsch Indische Handelsbank (Netherlands Indian Trading bank). Ditahun 1863 bank tersebut secara prinsip digunakan untuk memberikan kredit bagi Hindia Belanda.
In 1888 the Netherlands Trading Company opened an own office in Medan. At the Medan office the so called 'kasorders' (payment orders) were used for many years as alternate forms of script on Sumatra's Eastcoast. During the Japanese time the office was used as Government office, or 'Gunseikanbu'. Up to 1929 the Netherlands Trading Company was located where now the Bank Mandiri (8) is at the corner of the Lapangan Merdeka and the Jalan Raden Saleh. The second office of the Bank Mandiri, besides the office of the London Sumatra Company, was build in the twenties by the Nederlandsch Indische Handelsbank (Netherlands Indian Tradingbank). This from 1863 dated bank was principally for agricultural credits in the NetherlandsIndies.
Di sudut jalan A. yani, yang dikenal sebagai jalan Kesawan anda akan menemukan Juliana Building. Bangunan yang sangat indah ini pertama kali digunakan oleh kantor Harrisons & Crossfield, sebuah perusahaan perkebunan Inggris. Dengan huruf besar kita dapat membaca London-Sumatra-Indonesia pada bangunan itu. Konsulat Inggris juga dapat dijumpai disini. Batu granitnya didatangkan dari Eropa. Ini adalah bangunan pertama di Medan yang menggunakan elevator (lift). Lift ini tertanggal tahun 1910 berbentuk kurungan besi yang sangat indah berdekor bunga keriting dengan gaya Art Deco, dan masih digunakan. Kantor Harrison & Cossfield adalah sebuah duplikat bangunan ini. Arsitektur kotaMedan dipengaruhi gaya kolonial Inggris, tidak terlalu heran karena Penang dan Singapura relatif dekat ke Medan ketimbang ke Batavia (Jakarta).
Dollar masih menjadi mata uang resmi sampai tahun 1908. Di depan bangunan London Sumatera adalah bangunan kantor Jakarta Lloyd. Resminya bangunan ini adalah tempat berkantornya Perusahaan Perkapalan Belanda dan Rotterdam’s Lloyd.
On the corner of JI. A. Yani, formerly known as Kesawan Road you will see the JulianaBuilding. This beautiful building was first used by Harrisons & Crosfield, a British plantation company. With big letters we read London-Sumatra-Indonesia on the building. The British Consulate is also to be found here. Aberdeen granite which came from Europe as ship's ballast was used in the construction. It was the first building in Medan to have an elevator. This elevator dates back to 1910 and consists of a beautiful iron cage decorated with flowers and curls in Art Deco, and is still in use. The London office of Harrisons & Crosfield is a copy of this building. Medan's architecture was obviously influenced by the British Colonial Style, which is not surprising as Penang and Singapore are much closer than the capital, Batavia (now Jakarta). The straits dollar was also the official currency until 1908. Opposite the London-Sumatra building is the Jakarta Lloyd office. Formerly this building housed the Netherlands Shipping Company and Rotterdam's Lloyd.